Selasa, 05 Mei 2009
Sikap & Pola Pikir Positif
Pola Pikir Positif dan Negatif Dalam Menciptakan Ide & Inovasi
Pola pikir ini bisa dirubah dengan cara :
Berpikir lah seakan itu benar-benar terjadi
Jangan Berpikir dan berkata mana mungkin bisa akan tetapi oke akan saya coba itu
Jangan Berkata Tidak akan tetapi berkata iya
Berpikir tanpa mengikuti aturan dari hukum yang ada ( Berpikirlah Positif )
Berpikir lah dengan bebas tanpa mengikuti ide yang sudah ada.
Pola pikir ini masih bisa dirubah dimana saya sendiri jika saya berbicara dengan teman-teman saya banyakan jika saya berkata hal yang tidak mematuhi hukum yang ada ( Suatu ide dan Inovasi ) mereka berkata dengan tidak atau mana mungkin bisa terjadi, hal ini dijadikan oleh saya percobaan dan penelitian saya dalam memahami kehdupan manusia saat ini dan pola pikir masyarakat saat ini dimana 96% pola pikirnya terpaut dengan Hukum-hukum yang ada saat ini.
Jika anda ingin menjadi sukses ( dalam Segala hal ) berpikirah dengan tidak mematuhi aturan dan hukum yang ada dan berpikir lah dengan segi Pemikiran yang positif dan bertindak dengan positif , konotasi ini kala terjadi dalam bentuk kejahatan yang ada di saat ini dimana kala pemikiran cenderung kepada hal-hal pemikiran dan ide yang negatif ( Mencuri , korupsi , mencuri password orang dll ) , ide dan pemikiran negatif ini mampu mencuri sebuah sepeda motor , mobil dll dengan cara yang sangat tidak dimasuk akal dikarenakan dari pemikiran ini tercipta kreatifitas yang sangat hebat akan tetapi sangat disayangkan pola pikir ini adalah perbuatan-perbuatan yang negatif.
Pola pikir masih bisa kita semua merubahnya dengan mencoba berpikir dengan cara - cara positif , dimana hasil yang akan diciptakannya juga akan menjadi positif , Pemikiran negatif sering kali berhubungan dengan segi hawa nafsu dimana Keserakahan dan Kekuasaan menjadi segalanya bagi kita.
Pahami Pola Pikir Manusia Anda akan Mengetahui Rahasianya
Senin, 04 Mei 2009
Memahami Keunikan Diri
Untuk mulai menjawab pertanyaan di atas, saya akan mengutip apa yang pernah dikatakan Buckminster Fuller sebagai berikut: All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly inadvertently degeniusized by grownups.
Jadi sebenarnya pada awalnya kita semua sebenarnya memiliki kejeniusan atau bisa dikatakan, memiliki kemampuan otak yang sama. Namun sayang, seiring dengan pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi terpendam secara tidak disadari karena pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat dan terutama pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, saya akan mengisahkan seperti apa yang saya peroleh dari Talk Show Nasional bersama Kak Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, tanggal 24 Januari yang lalu. Tentunya di sini dengan gaya cerita dan daya ingat saya.
Al kisah, di sebuah hutan-sebut saja Alas Roban--yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas Roban memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua penghuni Alas Roban dianggap sama, sehingga harus belajar pelajaran yang sama dengan porsi yang sama pula.
Maka di sekolah, ketika pelajaran memanjat pohon, sang harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah memanjat dan tidak juga berhasil. Si monyet juga hampir menangis ketika mengikuti pelajaran menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke air. Demikian juga harimau, hampir tenggelam ketika mati-matian mengikuti pelajaran renang, sementara itik dengan gembiranya beranang di atas air. Ketika pelajaran bergantung di pohon, monyet dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara si buaya dengan susah payah hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya, dengan hewan-hewan lain hingga lambat laun mereka lupa tentang keahlian unik yang ada pada dirinya sejak lahir karena harus mempelajari sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan. Akhirnya, itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya menyelam, monyet lupa caranya memanjat pohon, dan harimau hanya bisa mengaum.
Demikianlah dahulu kita menjalani masa pertumbuhan. Karena kita dianggap sama dengan yang lain dan harus belajar sangat banyak hal yang belum tentu itu sesuai dengan keunikan diri kita, akhirnya jadilah diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, "Apa cita-citamu?" Kita hanya geleng-geleng kepala. "Apa bakat atau talentamu?" Kita juga menjawab, "Tidak tahu...".
Yang harus kita pahami di sini adalah keunikan diri yang masing-masing pribadi berbeda. Bahkan pada anak kembar sekalipun, tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan bawaan lahir yang harus diperhatikan.
Adi W. Gunawan dalam artikelnya yang berjudul "Born To Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot", menjelaskan bahwa anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius, namun proses pendidikan yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini, kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.
Hal di atas, masih menurut Pak Adi, menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk. Adapun cirri-cirinya yaitu:
Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri.
Kedua, anak takut berbuat salah.
Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru.
Keempat, anak takut penolakan.
Kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.
Kemungkinan besar karena proses pendidikan dan pengaruh lingkunganlah, kita yang pada awalnya memiliki kejeniusan yang sama, namun setelah dewasa menjadi berbeda kualitasnya. Bisa diibaratkan seperti benih tanaman, jika ia tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai maka bisa dipastikan tanaman itu akan tumbuh seperti yang diharapkan. Beda kasusnya jika meskipun benih unggul, impor pula, namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak sesuai maka bisa dipastikan benih itu tidak akan tumbuh atau mati. Sebagai contoh, saya juga pernah mencoba menanam pohon apel di depan rumah, namun akhirnya mati juga. Ya, karena struktur tanah dan iklim di daerah saya bukanlah tempat yang tepat untuk menanam apel.
Tentang kreativitas seseorang atau suatu bangsa sekalipun; kenapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara yang lain tidak demikian, menurut saya itu karena kebudayaan, sejarah sosial dan ekonomi, sistem pendidikan, nenek moyang dan nilai hidup yang dianut masing-masing orang atau bangsa itu berbeda. Kita tidak bisa menyamakan diri dengan bangsa Amerika, Eropa ataupun Jepang karena bangsa kita juga memiliki ciri khas sendiri. Bangsa kita dijajah sekitar 3,5 abad dan dahulu berasal dari kerajaan-kerajaan yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga petani dan pelaut sesuai dengan keadaan alam Indonesia. Jadi kita boleh kagum dengan Amerika yang bisa membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita juga tidak boleh melupakan Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia.
Kita mungkin kagum dengan bangsa Jepang yang bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan bermotor, namun kita juga harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang beragam. Mungkin rasa bangga kita kian sirna karena kepribadian kita sebagai bangsa yang besar telah tenggelam oleh laju globalisasi, dan lupa bahwa kita juga memiliki keunikan tersendiri. Hanya kita belum mengoptimalkannya, dan lebih memilih meniru budaya atau teknologi dari luar yang kita nilai lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan alih teknologi agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa negara kita juga masih berbasis pada pertanian dan kelautan; jika kita masih mau melihat potensi alam kita yang ada di ribuan pulau dan luasnya perairan laut yang kita miliki.
Adapun tentang makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga, menurut saya tidak ada kolerasinya secara langsung dengan "keluarbiasaan" seseorang atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri mengapa bangsa kita masih tertinggal dari bangsa lain, mungkin itu karena kita sebagai bangsa masih malas, kurang belajar, terlalu pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal menggunakan kejeniusan otak kita. Saya juga sering mendengar gurauan bahwa kalau otak manusia itu ada yang menjual maka yang paling mahal adalah otak orang Indonesia. Tahu alasannya? Katanya karena otak orang Indonesia masih orisinil, dengan artian "tidak pernah atau jarang dipakai". Sungguh menyedihkan ya...
Atau semua itu karena takdir?
Apalagi yang ini, tentu tidak masuk akal. Kata seorang mentor saya, "Takdir akan turun jika kita telah berusaha semaksimal mungkin". Jadi tentang hal ini tidak usah dibahas lebih jauh.
Ada tertulis "...Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..."
***
Demikianlah jawaban yang dapat saya kemukakan. Jadi, sudah seharusnyalah kita bisa memahami keunikan diri kita masing-masing. Melihat bahwa kita-sebagai individu maupun bangsa-memiliki potensi dan keunggulan tersendiri yang bisa kita berdayakan agar bisa menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.
Jika kita berfokus pada kelebihan yang melekat pada diri kita maka kemajuan bisa kita peroleh, namun jika kita hanya melihat kekurangan atau keterbatasan yang ada pada diri kita, bisa dipastikan kemajuan atau kesuksesan akan semakin jauh dari jangkauan kita.
Semoga bermanfaat! [AR]
Agus Riyanto
Penulis buku "Born To Be A Champion", bisa dihubungi di webblog http://agusriyanto.wordpress.com atau melalui email: agus4ever@gmail.com.
Merdekakan Diri Dari Penjara Mental
Ketika kita dikatakan, ‘bodoh', maka kita mudah menjawab, dengan mengatakan, "ya memang itu bukan bidang saya", ketika orang mengatakan, kamu tidak cocok menangani kerjaan ini, maka dengan mudah hati kita mengatakan, ‘ya, memang kerjaan ini terlalu sulit untuk saya"
Begitu juga ketika, orang mengatakan : penyakit anda sulit disembuhkann.!, maka pikiran kita langsung mengatakan : memang benar, hidup saya tidak ada harapan lagi.
Saya sebagai orang Indonesia juga sadar, bahwa kebanyakan orang kita umumnya mudah menyerah, pasrah menerima nasib, seolah nasib kita di tentukan oleh lingkungan dan kita sendiri tidak mempunyai tanggung jawab kepada perjuangan hidup kita sendiri, dan kita tidak mau memberontak terhadap apa kata orang, atas apa kata keadaan.
Sudah saatnya kita memerdekakan diri dari belenggu yang kita buat sendiri, yaitu perasaan pesimis dan mudah menyerah, kita tahu kemerdekaan ini adalah jembatan emas, yaitu peluang emas untuk kita mampu menjadi sukses, dan tidak diam dalam penyerahan keputus-asaan.!
Dalam lingkup kerja, jika ada permasalahan, kecenderungan pertama adalah: "bukan bidang saya". Masalahnya, semua bagian departemen menganggap "itu bukan bidang saya". Akhirnya tidak ada yang mengambil tindakan apa-apa. Maka terjadi lingkaran kronis problem tentang siapa yang bertanggang jawab.
Jangan Menyerah
Nancy Mattews Edison (1810-1871) mengatakan: Selalu ada 1001 alasan untuk menyerah, namun orang yang berhasil adalah orang yang tidak memutuskan untuk menyerah. Dia selalu bisa menemukan sebuah alasan untuk tidak menyerah.!
Semua orang akan ingat dan kenal Thomas Alfa Edison yang mempengaruhi sejarah dengan banyak penemuannya, 1.093 paten penemuan atas namanya telah tercipta. Tetapi siapakan dibalik kisah sukses bocah tuli yang bodoh ini, sampai, diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang genius.? Itulah berkat kegigihan sang bunda Nancy Mattews Edison, ibu yang tidak pernah putus asa, , ibu yang dengan gigih mengajar anaknya sampai mampu membaca dan menulis, ibu yang bersedia kerja keras untuk membangun pribadi dan kepercayaan diri anaknya. ibu yang tidak pernah menyerah dengan keadaaan.! Disinilah letak ‘berani ambil tanggung jawab' maka dengan demikian ibu yang mempunya anak ‘bermasalah' ini, berani memerdekaan dirinya dari belenggu masalahnya, berani menanggung apa yang harus dia lakukan terhadap apa yang terjadi pada hidup dirinya dan anaknya.
Penyakit dalam diri yang merusak, adalah perasaan tidak puas diri, jika tidak puas diri kita tanggulangi dengan perjuangan positif, itu bisa dikasih acungan jempol, tapi jika perasaan tidak puas diri kita perjuangkan secara negatif, kita akan menerima sanksinya sendiri, sebaagi contoh rasa tidak puas diri dengan keadaan diri sendiri, Kita iri melihat orang lain lebih cantik, lebih popular, lebih sukses dalam banyak hal disbanding diri kita, maka dengan serta merta kita berjuang dengan merusak citra diri orang tersebut, berjuang dengan banyak intri ‘kotor'. Dengan demikian kita akan menunggu saatnya, semua orang berbalik membenci kita, dan memuji orang yang membuat kita iri, karena hokum tak tertulis alam semesta, apa yang kita tabor itu yang kita dapat, kita menabur perkataan kotor, kita akan mendapatkan kembali, kita menanbur kebencian, kita akan emperoleh kembali apa yang kita sebarkan sebagai bibit aksi dan reaksi lingkungan.
Tidak ada penyakit lain yang lebih berbahaya dari rasa bangga diri, bangga atas apa yang kita miliki, bangga atas apa yang kita dapat, dan bangga dengan nasib kita, tapi kebanggaan ini versi diri sendiri,.! maka rasa bangga diri yang semu membuat seseorang menajdi budak nafsu ambisinya sendiri. kita selalu hidup mengejar nafsu. Sesungguhnya semua itu adalah fatamorgana. semu.
Nafsu berkuasa atas nasib orang, nafsu untuk merusak orang lain, siang malam merenda apa yang harus dilakukan untuk mengalahkan orang lain, tidurpun tidak nyenyak jika belum puas membuat rusak orang lain, supaya kita terlihat paling ‘bagus', akhirnya nafsu menguasai diri kita, sehingga meruntuhkan kehidupan kita pribadi, sementara orang yang jadi target diinjak untuk jadi papan jungkit mendongkrak citra kita, hidup tenang-tenang saja, mereka tidak merasakan apapun dari ambisi nafsu orang yang bertujuan menjatuhkannya, jadi yang kita kejar lama-lama menjadi hampa. Oleh karena itu. kita harus mengkoreksi diri sendiri dari penyakit-penyakit Ego tersebut
Orang yang sadar sudah membuang penyakit ego, sudah memulai hidup dengan banyak berpikir untuk membahagiakan orang lain, minimal sudah membagikan senyum manis yang penuh optimis untuk orang disekitarnya, dan sudah sadar untuk berbuat demi orang lain, tanpa bertanya, apa untungnya untuk diri sendiri. Secara sadar kita ikhlas berbuat untuk kepentingan orang banyak. Dengan demikian kita tidak lagi hidup dengan Ego pribadi, namun biarkan Jiwa menuntun hidup kita untuk merasa bahagia, dengan bagaimana melayani orang-orang lain.
Jiwa yang sehat, sadar secara spiritual
Spiritual seseorang tumbuh dengan baik, karena adanya pengalaman hidup, yang benar-benar melebur diri dengan apa yang namanya arti hidup. Pengalaman hidup, sangatlah penting untuk dijadikan refleksi dari kehidupan itu sendiri. Bukan berarti kita selalu menengok pada masa lalu, Tetapi kita tetap memfokuskan padangan pada masa depan, tetapi melihat masa lalu untuk pembelajaran. Hal yang sudah terjadi di masa lalu tidak bisa direvisi, tetapi masa depan bisa direncanakan untuk menjadi lebih baik, dengan belajar dari kesalahan di masa lalu.
Pada umumnya, kata spiritual selalu dikaitkan dengan keimanan / kepatuhan seseorang, dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan ritual keagamaan itu sendiri. Padahal spiritual dan ritual adalah dua hal yang berbeda, dan sangat terpisah penerapan dan kegunaannya untuk kesehatan jiwa kita.
Spiritual, bisa dikatakan sebagai refleksi hidup, yang erat dengan keterbukaan, bersifat mudah menerima, sabar, terbuka dengan wawasan baru, dan sadar bahwa yang dalam hidup ini lebih besar yang belum kita jalankan, bahkan lebih banyak yang belum kita ketahui, daripada yang kita pikirkan.
Umumnya di masyarakat, banyak yang terjebak dalam tidak bisanya membedakan antara Ritual dan Spiritual, maka terjadilah hal-hal yang menyesatkan bahkan pertikaian antar agama, banyak disebabkan karena kesehatan jiwa teracuni oleh ketidak pahamnya untuk bertoleransi pada ritual-ritual masing-masing kepercayaan.
Spiritual sifatnya universal, tidak terbatas, terkotak-kotak. Tapi ritual indentik dengan keyakinan dan kebiasaan masing-masing orang, yang dalam hal ini sebagai salah satu contoh ritual keagamaan. Maka kerancuan terjadi, banyak orang selalu menkaitkan orang yang melakukan ritual keagamaan tertentu dengan rajin dan patuh adalah orang yang spiritualnya tinggi. Padahal itu belum tentu.
Nah disinilah letak perbedaan, bahwa spiritual seseorang bisa menyehatkan jiwanya, walaupun dia tidak melakukan ritual-ritual, jika dia mampu merefleksikan spiritualnya dalam bentuk perbuatannya, yang mendatangkan kedamaian/ keharmonisan jiwanya dan lingkungannya. Sedangkan ritual-ritual belum tentu mampu mendatangkan kedamaian/ keharmonisan jiwanya sendiri dan lingkungannya jika tidak adanya refleksi spiritual dalam hidup.
"Niat Batin" lebih kuat dari keinginan otak (yang dipikir) maka orang yang berkutat dengan ego mau menang terus, umumnya orang yang belum mengerti arti ‘melebur' hidup pada kehidupan itu sendiri. Dia perlu kekuatan yang dalam hal ini, berbentuk pelepasan intrik-intrik membangun citra diri semu, dengan keliaran ambisi, bahwa dia harus tetap jadi pemeang, orang lain hanya pecundang yang malang.! Sungguh kasihan jiwa-jiwa yang terbelenggu dengan penjara mental yang diciptakan sendiri dan untuk dipakaikan pada dirinya sendiri
Pengalaman Melawan Kanker Membuat Weijden Berjaya
Penyakit leukemia yang diidapnya sejak tahun 2001 membuat dia belajar berpikir secara bertahap. "Saat kau merasa kesakitan di rumah sakit dan lelah, kau tidak akan memikirkan apa yang akan terjadi sejam atau sebulan berikutnya, kau hanya akan memikirkan apa yang akan terjadi sesaat lagi," paparnya yang dikutip dari detik.com.
Penyakit yang dideritanya mengajarkan dirinya untuk bersabar berbaring di rumah sakit dan kesabaran itulah yang menjadi kunci ia meraih medali emas di Olimpiade Beijing 2008. Sebelumnya Weijen juga berhasil keluar sebagai juara dunia 25 km di Spanyol awal tahun ini.
Ternyata pengalaman menjadi pembelajaran yang berharga bagi seseorang dan hal ini yang dialami Weijden sehingga ia mampu memetik prestasi puncak dengan meraih medali emas Olimpiade Beijing 2008.
Marah Yang Bermanfaat
Marah yang bermanfaat adalah marah yang tepat dan sudah dikelola dengan baik. Hal ini jelas tidak mudah, butuh waktu, kesabaran dan hati yang lapang, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan.
Nah, langkah pertama yang perlu dilatih terus menerus adalah menyadari ketika kita merasa marah. Langkah kedua, seseorang perlu memahami dan menerima alasan kenapa ia marah. Termasuk di dalamnya, mengevaluasi penyebab kemarahannya. Tahukah Anda, sesuatu yang membuat marah terkadang justru punya alasan atau maksud yang berbeda? Banyak yang menyesal karena sudah marah untuk alasan yang tidak tepat. Misalnya, marah karena ada orang yang menunjukkan jari padanya, padahal orang tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada bahaya yang mengancam dari belakang.
Langkah yang ketiga adalah mengelola atau mengekspresikan amarah dengan tepat. Jika kita punya alasan yang tepat, misalnya bukan hanya meluapkan emosi, tetapi juga demi pembelajaran bagi orang lain, kita dapat mengungkapkan kemarahan kita. Tenangkan diri Anda dan hati-hatilah ketika berkata-kata. Tentu karena tujuan marah bukan untuk membalas atau menyakiti hati/fisik orang lain, melainkan untuk mendidik dan membangun. Kita sendiri dapat mencoba melihat sisi positif dari kejadian yang membuat kita marah. Ambil hikmah dari kejadian tersebut.
Pada waktu-waktu tertentu, kita juga dapat mengubah energi kemarahan yang kita rasakan menjadi energi yang dapat memotivasi kita melakukan hal yang bermanfaat. Misalnya, daripada marah-marah pada pengendara motor yang memotong jalan dan sudah tidak tampak lagi, lebih baik energi yang ada digunakan untuk lebih waspada, mencermati jalan, atau menyelesaikan tugas kuliah/pekerjaan kantor.
Intinya adalah jangan terjebak pada kemarahan yang dapat merusak hari dan diri kita, tetapi manfaatkanlah kemarahan dengan cara yang tepat. Sadari, pahami, dan kelola dengan tepat emosi marah yang kita rasakan karena kemampuan ini adalah bagian dari kecerdasan emosi yang kita miliki. Demikian pendapat P. Henrietta Siswadi, S. Psi dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Jumat, 01 Mei 2009
J J Astor
-J.J Astor-